ulama kharismatik dengan segundang ilmu keagamaan merupakan modal sosial tak
terbatas bagi penulisan buku karena dapat dimanfaatkan sebagai pijakan
pengambilan hukum oleh pengikutnya. Fiqih, ilmu cabang dalam Islam yang
berkaitan erat dengan tatacara ibadah, selalu mendapatkan tempat teratas
dalam kehidupan masyarakat agama Islam.
Sebab fiqih merupakan
kebutuhan sehari-hari umat Muslim untuk panduan beribadah shalat, zakat,
puasa, dan haji. Belum lagi kaitan dengan tatacara wudlu, hadats,
najis, mengelola jenazah, menyucikan pakaian, dan menyucikan hadats
dalam tubuh. Hukum halal-haram terhadap persoalan tertentu seperti
jual-beli. Intinya, dalam Islam fiqih merupakan ilmu teknis yang banyak
dimanfaatkan penganut Muslim.
Buku tanya-jawab persoalan keagamaan
selalu berkembang dan mengalami perbaikan (revisi) terhadap buku-buku
sebelumnya yang pernah ada. Perkembangan buku tanya-jawab dapat
ditelisik dengan tiga pendekatan:
Pertama, buku tanya jawab fiqih
akan selalu mengalami perkembangan persoalan yang harus dipecahkan
setiap zaman, kecuali pada bahasan-bahasan yang sudah baku. Ketika KH
Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) masih hidup, tidak ada
persoalan nuklir yang masuk dalam pembahasan fiqih. Berdasarkan
hasil-hasil muktamar NU tahun 1948-1970-an, pembahasan yang masuk dalam
forum bahtsul masail muktamar NU sebagian besar berkaitan dengan ibadah
mahdhah (pribadi), seperti shalat, wudlu, najis, shalat musafir,
menjamak shalat, mengurus jenazah, dll.
Namun kenyataan sosial modern
mengharuskan fiqih bersikap terhadap nuklir, seperti kontroversi PLTN
di Jepara yang memaksa fiqih bersikap halal, haram, mubah, atau makruh.
Alhasil, perkembangan zaman selalu memberi kesempatan kepada penerbit
untuk memperkaya buku fiqih tanya-jawab yang bisa dipakai alasan untuk
mencetak ulang buku terdahulu dengan versi ‘edisi revisi’.
Kedua,
tokoh/kiai pencetus buku tanya-jawab yang dipakai rujukan juga ikut
berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku tersebut. Meskipun, misalnya,
tokoh yang pernah menulis buku fiqih tanya jawab seperti Mbah Sahal (KH
Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, Rais ‘Am PBNU), Gus Mus (KH A Mustofa
Bisri), atau Gus Yusuf (KH M Yusuf Chudlori) yang cover-nya terpampang
disini, substansi persoalan yang dibahas di dalamnya tidak mempunyai
perbedaan mendasar kecuali redaksi yang berbeda.
Namun buku-buku ini
sama-sama laris karena pembaca mempunyai fanatisme tersendiri terhadap
tokoh/ulama. Karena pembeli mempunyai ikatan emosional sendiri-sendiri
dengan tokoh yang ada dalam buku. Patut dicatat, rujukan kitab kuning
yang dipakai ketiga buku ini juga sama kualitasnya dan sama-sama laku.
Ketiga,
buku fiqih tanya-jawab mempunyai segmen pembaca yang sangat luas (untuk
kalangan umat Islam). Luasnya segmen pembaca ini berkaitan dengan tempo
generasi pembaca Muslim yang cepat berkembang. Setiap generasi
membutuhkan sejumlah bacaan fiqih yang praktis yang meniscayakan
penerbit selalu mencetak ulang karena pembaca umum tidak mungkin membaca
kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Terlebih wacana fiqih di dalamnya
bersifat baku tidak akan pernah mengalami perubahan.
Misalnya,
sepanjang hayat kotoran ayam pasti hukumnya najis, jenazah wajib
dimandikan-dikafani-dishalati-dikubur, shalat fardlu lima waktu sehari,
sehabis buang air besar/kecil wajib bersuci, dan lain-lain. Hal inilah
yang memungkinkan buku fiqh tanya jawab selalu aktual dan selalu diburu
orang banyak –sepanjang pemeluk Islam di Indonesia mayoritas.
Demikian
halnya dengan buku terjemahan kitab kuning jenis fiqih, tasawuf,
aqidah, atau ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah) yang beredar di
masyarakat, khususnya kalangan pesantren, memiliki daya laku yang kuat.
Buku jenis terjemahan kitab kuning sangat laku di kalangan pesantren
karena membantu santri untuk memperdalam kitab yang dikaji yang
berbahasa Arab.
Buku-buku seperti ini, mungkin, bagi kalangan
pengkaji wacana berat (intelektuil) tidak termasuk dalam perhitungan
karena termasuk wacana lama. Apalagi redaktur resensi buku, pasti tidak
akan melirik resensi buku ini karena wacananya termasuk ketinggalan
zaman –maklum, setiap redaktur membutuhkan aktualitas.
Namun demikian
bagi penerbit, bukan persoalan wacana usang, kenyataan di pasar buku
jenis ini laku keras, alias selalu mengalami cetak ulang minimal setahun
sekali, maka tetap berlanjut perbaikan demi perbaikan dan cetak demi
cetak. Contoh buku jenis ini terjemahan Nashaihul Ibad, Riyadush
Sholihin, Alfiyah Ibnu Malik, dan Kifayatul Akhyar.
Bagaimanapun juga
dunia buku tidak selamanya akan berhenti pada jenis buku bertema
tertentu. Perpaduan antara buku-buku dengan wacana lama dengan yang baru
sama-sama mendapatkan respon pasar yang bagus. Tergantung bagaimana
penerbit akan memperlaklukan pasar dengan permainan tema yang akan
diluncurkan.
Buku fiqih tanya-jawab ala Mbah Sahal, Gus Mus, dan Gus
Yusuf merupakan sebagian jenis buku yang laku keras di pasaran dengan
indikasi frekuensi cetak ulang terjadi minimal setahun sekali, dan
mayoritas laku terjual di wilayah Jawa Tengah. Fenomena ini mungkin bisa
memberi informasi sekaligus inspirasi bagi penerbit di luar Jawa Tengah
untuk menerbitkan buku semacam ini, dengan tokoh/ulama setempat. Sebab
emosionalitas dan fanatisme kewilayahan terhadap tokoh berpengaruh
terhadap laku-tidaknya buku jenis ini.
Wednesday, 10 October 2012
fiqih tanya jawab
07:08
Khoirul Muna
No comments
0 comments:
Post a Comment